Joko mulai mengayunkan kapaknya. Dibelahnya sebongkah kayu yang ada di hadapannya menjadi beberapa bagian. Menggunakan semua peralatan ukir yang ia miliki, ia beruaha menyulap kayu yang ada di hadapannya menjadi sebuah kursi.
Sebenarnya Joko tak habis pikir mengapa ia mau lagi memegang perkakas usang warisan ayahnya itu. Semasa hidupnya, ayah Joko bisa menitikl tiap kayu di hadapannya dengan sempurna. Ukiran rumah, almari, meja, kursi, dan semua benda berbahan dasar kayu bisa dibuatnya. Istana kerajaan yang megah pun merupakan hasil karyanya. Tetapi tidak dengan Joko. Ia sama sekali tidak bisa memahat atau mengukir. Satu-satunya hal yang Joko warisi dari ayahnya hanyalah perlengkapan alat kayu ukir berumur puluhan tahun.
Ayahnya sebenarnya pernah menggembleng, satu-satunya keluarga yang ia miliki itu, supaya menjadi pemahat yang handal. Istrinya meninggal ketika Joko masih bayi. Tapi sekali pun tak pernah Joko menghasilkan sebuah karya. Pikirannya selalu buntu ketika memikirkan sebuah ide untuk memahat. Maka, ketika ayahnya meninggal Joko jatuh miskin karena tidak bisa meneruskan usaha keluarganya. Ia pun hidup sebatang kara, karena tak ada wanita yang mau hidup dengan seorang pria yang tak punya keahlian apapun, kecuali memancing.
Tapi hari itu, Joko seperti orang lain. Tiba-tiba ia mahir memahat. Ia sempat merasa kalau dirinya sedang kesurupan. Tangannya sangat lincah memainkan palu seperti ada yang menggerakan. Anehnya, Joko sadar penuh dengan apa yang dilakukannya.
Semua keganjilan itu terjadi setelah mimpi itu. Mimpi yang aneh. Di mimpi itu, Joko didatangi sebuah cahaya hitam, ketika sedang bertapa di gua. Gelapnya cahay itu mengalahkan gelapnya gua di malam hari.
"Si...si...siapa kau? Tanya Joko ketakutan.
"Pahat kayu itu!" Jawab cahaya hitam.
"A...a...apa?"
"Pahatlah kayu itu"
"Aku tak bisa memahat, lagi pula di sini tak ada kayu."
"Pahatlah kayu yang kau temukan besok. Ubah kayu itu menjadi singgasana. Niscaya hidupmu akan berubah!"
Joko terbangun, ketika cahaya hitam itu merasuki tubuhnya. Ia lalu meraba-raba badannya. Merasa tak ada yang berubah. Ia menganggap mimpi itu, bunga tidur biasa.
Keesokan harinya, Joko pergi ke sungai tempat ia biasa memancing. Ikan di sungai itu tak cukup banyak. Hasil memancing Joko biasanya bisa memenuhi kebutuhan hidupnya dua sampai tiga hari ke depan. Sesampainnya di sana ia merasa tak akan ada sesuatu yang terjadi. Sampai ketika ia melepmparkan kailnya, arus sungai yang tenag tiba-tiba menjadi deras. Karena kaget, ia sontak menarik kembali kailnya. Ia berteriak keras ketika melihat sebongkah kayu ikut tertarik, ikut bersama pancingnya. kayu itu sangat ringan ketika tertarik dari sungai. Tetapi berat kayu itu menjadi sedia kala ketika jatuh ke tanah.
Joko langsung lari melihat fenomena itu. Tetapi ia berhenti ketika teringat mimpinya semalam. Tiba-tiba muncul dibenaknya, sebuah sketsa kursi singgasana. Ia bahkan belum pernah melihat ayahnya membuat benda seindah kursi yang sedang ia pikirkan. Ia pun berbalik. Dibawanya pulang kayu yang panjangnya tiga meter itu.
Pagi, siang, malam, ia pahat kayu itu. Tak sekali pum Joko berhenti memahat, kecuali sekedar untuk makan atau istirahat. Tak ia hiraukan cemoohan tetangganya atas kegiatan barunya itu.
"Hey lihat! Joko pancing sekarang ingin berubah menjadi Joko kayu!"
"Percuma kamu memahat kayu. Mending kamu bantu aku jadi preman pasar. Tak pake modal, tapi menguntungkan!"
"Ngapain kamu buang-buang tenaga, Jok. Ikut aku saja, mencari peruntungan di negeri jiran"
Semua ucapan yang datang itu ai terima dengan telinga kanan. Tapi langsung ia keluarkan melalui telinga kiri.
"Lihat Saja kalau kursi ini sudah jadi, kalian pasti ternganga!" Gumam Joko.
Setelah berpeluh selama seminggu, pahatan pertama dalam hidup joko itu berhasil dibuat. Ia sempat berpikir kalau mimpi yang ia alami minggu lalu pertanda awal kesuksessannya. Tapi ketika ia berusaha memikirkan sketsa pahatan keduanya, ide itu tak kunjung muncul. Ia tiba-tiba kembali menjadi Joko yang dulu. Ia sontak teringat kembali cahaya hitam yang muncul dalam mimpinya.
"Jangan-jangan, cahaya hitam itu iblis. Celaka! Aku sudah membuat singgasana iblis!" Batin Joko.
Joko ingin menghancurkannya, tapi ia tidak berani. Ada suara aneh yang menyelimuti kursi itu. Ia akhirnya bertekad untuk tidak menjualnya. Ia langsung menyembunyikan kursi itu ke dalam rumah.
"Kursi ini tak boleh dimiliki siapa pun" Batin Joko.
Tetapi kabar tentang kursi buatan Joko sudah tersebar. Para tetangga, sampai warga desa sebelah berbondong-bondong mendatangi rumah Joko. Joko sebenarnya tidak mengizinkan, tetapi mereka rela membayar untuk melihat atau sekedar menduduki kursi megah itu. Joko yang sudah semingu menganggur terpaksa mengizinkan karena sudah kehabisan uang.
"Singgasana ini terlalu hina untuk dikatakan sebagai pahatan yang sempurna!" Begitulah decak kagum tiap orang yang melihatnya.
Walaupun banyak yang ingin mencoba, tak ada yang berani mendudukinya. Mereka merasa tak pantas duduk di kursi itu. Ada juga yang tak berani mencobanya karena takut. Mereka merasa kursi itu hidup.
"Dua naga di lengan kursi itu melambangkan kekuasaan dari ujung barat sampai ujung timur yang berada di genggaman. Singa yang ada ada di sandaran kursi mempunyai arti kekuatan yang absolut. Ukiran akar di keempat kakinya melambangkan sokongan rakyat yang patuh dan setia pada kerajaan..." Joko menjelaskan setiap makna ukir tulisan itu kepada setiap pengunjung.
"Kursi ini memang sangat indah. Tapi ini bukan buatan manusia. Aku tak ingin ada seorang pun yang memilikinya." Ucapnya di akhir penjelasan
Kabar kursi Joko pun sampai ke telinga raja. Raja mendengar berbagai sampai desas-desus yang melingkupi cerita tentang kursi itu. Karena penasaran, segera dipanggilnya Joko ke istana.
"Aku sudah mendengar kabar kursi yang kau buat. Aku ingin membelinya supaya bisa kujadikan singgasana yang baru." Titah Raja
"Ampun baginda, tapi Kursi itu tidak dijual." Jawab Joko.
"Aku sudah mengenal ayahmu dengan baik. Ia rakyat yang setia. Jadi, berapa keping emas yang kau minta sebagai harga? Pasti kuberika"
"Ampun baginda, tapi kursi itu memang tidak hamba jual"
"Kau berani melawan perintahku?! Kau pikir aku tak tahu berapa tarif yang kau kenakan ketika ada yang ingin melihat Kursi itu? Uang yang aku berikan tak sebanding dengan apa yang telah kau dapatkan!"
"Ampun baginda. Hamba tidak pernah memungut biaya ketika ada yang ingin melihat kursi hamba. Hanya saja..."
"Sudah berani menolak titah, kau juga berani berbohong dihadapanku? Karena kau menentangku, kau ku hukum. Prajurit, panvung dia!"
Joko akhirnya menemui ajalnya. Dan kursi itu, begitu saja berpindah tangan. Raja akhirnya mempunyai singgsana baru. Ia terlihat semakin gagah dan berwibawa dengan singgsana barunya. Tapi tidak sampai satu bulan setelah itu, raja jatuh sakit dan kemudian meninggal. Sebelum meninggal, ia memutuskan untuk mengangkat salah satu dari dua putranya menjadi raja baru menggantkannya. Raja memilih si bungsu sebagai penggantinya karena dirasa lebih cerdas dari kakaknya.Juga karena si sulung sebelumnya tidak pernah mempunya obsesi sebagai raja.
Tapi keputusan raja berakibat fatal. Raja tidak tahu kalau perangai si sulung berubah semenjak adanya kursi Joko di istana. Ia ingin seperti ayahnya, yang selalu dihormati dimanapun ia berada. Apalagi ketika melihat ayahnya beberapa kali lipat lebih berwibawa ketika duduk di singgasana barunya. Ia ingin menduduki singgasana itu.
Si sulung pun melakukan pemberontakan. Perang saudara tak terelakan. Dalam perang itu, raja baru terbunuh. Si sulung berhasil merebut tahnta kerajaan.
Beberapa bulan setelah dipimpin putra sulung, kerajaan menjadi tidak stabil. Berbagai sektor penting dalam kerajaan tidak berjalan. Si sulung, tak bisa memimpin dengan baik. Hal ini dimanfaatkan negeri jiran yang sudah lama ingin memperluas kekuasaannya.
Negeri jiran pun menyerang. Kerajaan akhirnya tumbang. Istana kerajaan rata dengan tanah. Yang tersisa hanya kursi buatan Joko, yang berdiri tegak di tengah reruntuhan.
*Tulisan ini pernah diterbitkan dalam majalah IDEA edisi 35 Sesember 2014 Selamat Natal, dalam rubrik "cerpen" oleh Muhammad Zuha.
KOMENTAR