Saya melihat kebenaran ini tidak hanya sekali. Entah tidak terhitung. Saya menjumpainya di timeline Facebook. Ini tentang kebenaran. Saya tuliskan salah satu dari yang saya jumpai tentang kebenaran yang saya maksudkan di Facebook.
Seorang teman membagikan status orang lain di timeline Facebooknya, status tersebut berupa tulisan cukup panjang berisi ajakan bersimpati atas kejadian ketertindasan, disertai dengan foto yang dramatis yang berlokasi di luar daerah dimana teman saya tinggal. Teman saya tersebut dalam membagikan konten tidak memberi keterangan apakah ia memperlihatkan setuju dengan yang dibagikan ataukah sebaliknya.
Saya mencoba melihat isi komentarnya yang terlihat terdapat belasan komentar. Di kolom komentar tersebut, ada akun lain yang juga berteman dengan saya, berkomentar dan berbalas komentar dengan teman yang membagikan status tersebut. Keduanya dalam berkomentar terlihat condong bersimpati atas status ajakan simpati itu, dalam perbincangan komentar, akun yang berkomentar mengajak kepada teman saya untuk juga ikut bersimpati, karena pada dasarnya mereka menyandang status mahasiswa, yang mana harus siap terjun membela siapa saja yang didzolimi atau ditindas.
Mereka, dengan melihat status tersebut seakan terpanggil dan harus melakukan tindakan berupa bantuan simpatik, jika tidak, mereka sama saja dengan pro terhadap orang yang menzolimi atau yang menindas. Akun yang berkomentar di status teman saya itu terlihat terus menguatkan argumennya. Ia berkomentar bahwa foto tidaklah pernah berbohong. Kemudian ia mengajak teman saya lagi untuk semakin simpatik, jika tidak ia adalah bagian dari penindas yang dimaksudkan.
Di dalam komentar tersebut, mereka tidak menuliskan kejadian yang dimaksudkan telah juga mereka ketahui langsung di lapangan, tidak ada data, kronologi, kajian dan lainnya. Hanya merasa tergugah untuk segera bersimpati dan bertindak.
Sebuah balas membalas komentar yang menarik dan heroik oleh mahasiswa di media sosial Facebook. Ajakan bertindak dalam bentuk status Facebook dan dengan mudahnya diyakini sebagai kebenaran. Padahal mereka berdua sama-sama tidak mengetahui hal tersebut dalam realitanya.
Mereka, sebagai kaum terpelajar tidak lagi mempertimbangkan alasan dan faktor-faktor bagaimana kejadian tersebut terjadi. Mereka tidak lagi peduli atas penelitian mendalam dalam melihat sebuah fenomena sebelum bertindak dan memverifikasi sumber yang akurat. Mereka langsung meyakini bahwa status ajakan simpati yang disertai dengan foto tersebut Kebenaran dan bukanlah Hoax. Sedang di lain waktu, mereka menentang pemberitaan yang tidak sepaham dengan apa yang sudah mereka yakini. Ya, hanyalah berasumsi.
Di Facebook dan media sosial lainnya, tampaknya orang-orang di sekitar kita masih sulit membedakan kriteria sebuah informasi. Apakah hal tersebut yang dibagikan benar adanya, ataukah hanyalah sebuah propaganda, informasi palsu ataukah hoax dan lainnya. Padahal jika melihat kedua teman saya di komentar tersebut adalah mahasiswa atau kaum terpelajar tingkat tinggi. Saya juga mengetahui bahwa mereka juga memiliki jabatan yang cukup tinggi di organisasinya masing-masing. Yang saya lihat adalah mereka dan kejadian serupa yang saya jumpai di Facebook, seakan sebuah kecenderungan terlena di era milenia, mudah terhentak dan menjudge serta rumpi sambil mencibir a la seorang Hero.
Informasi di dunia jejaring begitu deras, banyak yang harus dan benar-benar dilacak dan diketahui kebenaran dari apa yang tersebar di dunia jejaring seperti sekarang. Biasanya, orang yang dengan mudah koar-koar, meski minim data dan pemahaman mendalam atas sesuatu di media sosial seperti Facebook ialah para pemburu emot reaksi dan sanjuangan. Mereka tidak menyadari bahwa masalah yang terjadi dan membesar adalah gara-gara ia tidak bisa membedakan antara dunia nyata dan dunia virtual. -ka-
KOMENTAR