
Semarang, IDEApers.com - Rektor UIN Walisongo, Muhibbin, pada Rabu (01/06/16) menerbitkan Surat Keputusan mengenai prosedur penyesuaian Uang Kuliah Tunggal (UKT) nomor 161 tahun 2016, Setelah diterbitkannya SK itu, mahasiswa bisa melakukan penyesuian jumlah besaran UKT dengan melakukan banding. Penerbitan SK itu dilakukan sebagai langkah menjawab kegaduhan mahasiswa baru UIN Walisongo 2016. Mereka menilai penentuan besaran UKT yang telah didapat terlalu mahal dan tidak tepat sasaran.
"Kami merespon (tuntutan mahasiswa) dengan memberikan kesempatan bagi mereka yang merasa keberatan," ujar Kepala Biro Administrasi Umum, Perencanaan, dan Keuangan (AUPK), Priyono, saat diwawancarai kru el-Manhaj Rabu (11/01/17).
Sebelumnya, sebagai reaksi kekecewaan atas penentuan besaran jumlah UKT, mahasiswa baru menggelar aksi penolakan dengan berbagai cara. Penolakan dilakukan dengan melakukan klarifikasi terhadap pihak kampus, memasang spanduk yang penolakan UKT dari kampus satu hingga kampus tiga.
Hingga pada puncaknya mahasiswa baru Fakultas Ushuluddin dan Humaniora (FUHum), Fakultas Ilmu Trabiyah dan Keguruan (FITK), Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK), Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI), menggelar demonstrasi penolakan UKT saat pelaksanaan Orientasi Pengenalan Akademik (OPAK) 2016 berlangsung. Sebagaimana dilansir IDEApers.com (24/08/16).
Sementara pengumuman hasil penyesuaian besaran UKT kemudian dipublikasikan pada 19 Desember 2016. Sebanyak 400 lebih mahasiswa baru turut mengikuti banding UKT, namun tidak semuanya dapat diturunkan. "Hasilnya UKT mahasiswa bisa turun, meskipun tidak semuanya," kata Priyono.
Untuk menentukan siapa mahasiswa lolos mengikuti banding, kata Priyono, pihak kampus telah membentuk tim khusus yang melakukan verifikasi data mahasiswa. "Tim verifikasi tersebut bertugas untuk menyeleksi mahasiswa yang mengajukan banding UKT," ungkap Priyono.
Minim Sosialisasi
Setelah rektor mengeluarkan Surat Keputusan tersebut, pihak kampus lantas mempublikasikannya kepada mahasiswa, baik melalui website resmi maupun menyebar Surat Keputusan pada masing-masing fakultas. Selanjutnya bisa ditindaklanjuti oleh mahasiswa yang merasa keberatan dengan besaran UKT-nya.
Agar bisa mengikuti banding, setiap mahasiswa harus memenuhi berbagai syarat. Seperti terdaftar menjadi mahasiswa UIN Walisongo s1, maksimal semester delapan dan bagi mahasiswa D3, maksimal semester enam. Mengajukan surat permohonan kepada Rektor atau Wakil Rektor Bidang AUPK yang diketahui oleh Dekan atau Wakil Dekan Bidang AUPK.
Menyerahkan surat pernyataan bermaterai dari orangtua mengenai jenis pekerjaan, jumlah penghasilan, dan tanggungan keluarga per bulan. Menyerahkan foto copy Kartu Keluarga serta rekening listrik tiga bulan terakhir.
Banyaknya persyaratan yang harus dilengkapi mahasiswa, justru disayangkan karena dinilai masih minim sosialisasi yang dilaksanakan pihak kampus. Hal itu seperti yang diungkapkan mahasiswa FUHum, Syifa Razana, menurutnya sosialisasi tersebut belum bisa dikatakan maksimal dan berhasil menggaet mahasiswa yang merasa keberatan dengan UKT-nya.
Syifa turut menyarankan agar pihak kampus bisa membuat forum khusus untuk menyosialisasikan banding UKT tersebut. "Menurut saya enggak maksimal, seharusnya kan bisa dibuatkan forum per fakultas. Bukan hanya sosialisasi di website, selebaran surat-surat atau broadcast melalui WhatsApp," ujar Syifa saat dihubungi kru el-Manhaj, Selasa (17/01/17).
Lebih lanjut syifa, mengungkapkan jika ia mendapat informasi penyelenggaraan banding UKT melalui pesan yang masuk dari grup WhatsAppnya. "Ada di grup WhatsApp," ungkap mahasiswa jurusan Tafsir Hadis semester satu itu.
Tidak hanya dirasakan Syifa, minimnya sosialisasi banding turut dirasakan mahasiswa UIN Walisongo. Dari hasil riset yang dilakukan kru el-Manhaj akhir November 2016, sebanyak 53,8 persen mahasiswa mengaku bahwa pihak kampus memang telah melakukan sosialisasi. Namun sebanyak 62,6 persen mahasiswa menganggap sosialisasi yang dilakukan belum maksimal.
Terkait penyelenggaraan sosialisasi banding UKT, Ketua Senat Mahasiswa (SEMA) FUHum 2016, Bagus Setiatriana, mengaku jika pihaknya telah membantu pihak kampus untuk menyosialisasikan banding UKT kepada mahasiswa yang membutuhkan bantuan secara maksimal.
"Kami dari SEMA sudah memberikan sosialisasi terkait banding UKT dengan maksimal. Kami juga menyebar pamflet, surat edaran pemberitahuan dan
menyebarnya melalui medsos," ujar Bagus, mahasiswa semester tujuh itu.
Sementara pihak kampus melalui Kepala Biro AUPK, Priyono, berdalih jika pihak kampus juga telah melakukan sosialisasi secara masif. "Kami sudah mensosialisasikan (banding UKT melalui web, ke fakultas-fakultas, dan juga para wakil dekan tiga," ungkap Priyono.
Merasa Pesimis
Mahasiswa FDK, Maria, mengungkapkan jika ia harus berpikir ulang saat ingin mengajukan banding UKT-nya. Pasalnya, menurut Maria pihak kampus tidak bisa memberi kepastian apakah UKT yang ditanggung itu akan benar-benar diturunkan atau tidak. Padahal semua yang mengajukan banding telah merasa berat dengan UKT yang diterimanya.
Maria pun mengaku jika ia terpaksa memilih tidak mengajukan banding, karena takut jika UKT yang diterimanya justru dinaikkan pihak kampus. "Takut jika nanti UKT saya malah naik, jadi saya tidak melakukan banding," ungkap Maria, mahasiswa semester satu itu.
Tak berhenti di situ, mahasiswa FDK, Muhammad Ilyas, juga menaggapi bahwa prosedur pengajuan banding UKT dirasa rumit dan dipersulit oleh pihak kampus. Akibatnya, banyak mahasiswa yang lebih memilih tidak mengajukan banding dan menerima dengan terpaksa akan besaran UKT yang harus ditanggungnya.
"Saya merasakan sendiri, saya juga ikut banding UKT dan cukup dibuat bingung sih, dengan prosedurnya yang rumit," kata Ilyas, mahasiswa Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam itu.
Lebih lanjut mahasiswa FUHum, Falah, menyatakan seharusnya pihak kampus tidak perlu membuat surat keputusan banding, jika prosedur penetapan UKT bisa transparan dan tepat sasaran. Mahasiswa pun, lanjut Falah, tidak perlu bersusah payah menggelar aksi penolakan UKT di UIN Walisongo.
"Segalanya itu harus dipersiapkan pihak kampus dengan matang. Dilakukan riset terlebih dahulu tentang kadar kemampuan ekonomi mahasiswanya. Jika sudah benar-benar siap menjalankan UKT, mungkin akhirnya tidak ada demo-demo lagi dan enggak perlu ada banding-banding juga," ujar Falah, mahasiswa jurusan Tafsir Hadis itu.
Lebih lanjut Ketua SEMA FUHum, Bagus, mengharapkan agar pihak kampus bisa melibatkan lembaga kemahasiswaan dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan mahasiswa.
"Saya berharap birokrasi UIN Walisongo bisa lebih cermat dalam menentukan kebijakan. Serta mau melibatkan mahasiswa atau perwakilannya untuk diajak berunding terkait kebijakan yang ada di kampus," harap Bagus. [Rep. Zain, Noor / Red. Tirta]
KOMENTAR