Ada seseorang yang dulu dikenal dan
dipuja banyak orang. Dia diangap lebih pintar dari pada teman-temannya, tak
ayal banyak teman-teman yang meminta saran kepadanya. Lalu, tanpa dia sadari,
hatinya berbesar, dia merasa unggul dan secara halus masuk dalam jurang ilusi
pujian.
Dia lupa, bahwa pengetahuan itu adalah
universal, yang bisa dimiliki semua orang, dengan belajar. Teman-temannya
belajar sungguh-sungguh, sedangkan dirinya, masih belum sadar akan hal itu.
Pada hari kemudian, teman-teman
mendahuluinya melewati fase pendidikan. Teman-temannya pun melanjutkan apa yang
menjadi cita-cita mereka. Dia sadar atas ketertinggalannya itu, namun, dia
merasa teman-temannya jahat, tak menunggunya.
Hikayat tersebut mempertentangkan,
antara kesetiakawanan dan cita-cita. Sering kali manusia menganggap dirinya
telah banyak berjasa kepada orang lain, namun kecewa karena jasanya tak
terbalas. Hal semacam ini, mungkin pernah
kita alami. Ada baiknya kita mempertanyakan, bagaiman sikap yang tepat
saat kita berada dalam keadaan tertinggal, kesepian dan merasa sendiri.
Intropeksi Diri
Pramudya Ananta
Toer mengatakan dalam salah Novel Tetralogi Pulau Buru, bahwa, adanya
penjajahan tidaklah semata-mata salah penjajah, namun juga ada kesalahan dari
yang terjajah (kurangnya pengetahuan dan pandangan hidup yang terbelakang).
Ucapan Pram ini hampir sama dengan apa yang terjadi dengan pemuda dalam hikayat
di atas, bahwa alasan kenapa dia ditinggalkan oleh teman-temannya, bukan murni
karena ketidaksetiakawanan teman-temannya, namun juga karena dia pantas untuk
ditinggal, bahkan bisa jadi murni karena kesalahannya, yang tak mau berusaha
mengejar teman-temannya, hanya bisa menyalahkan dan menuntut kesetiakawanan.
Sering kali, sewaktu
mengalami fase kehidupan yang tak menyenangkan, manusia selalu mencari tumbal
atau kambing hitam, untuk dimintakan pertanggungjawaban atas apa yang terjadi
padanya, walau nyata-nyata itu disebabkan dirinya sendiri.
Kalau kita baca al-qur’an,
ada ayat yang mengatakan, bahwa tidak terjadi pada manusia selain apa yang
telah dia usahakan atau perbuat, dan ayat selanjutnya melarang manusia untuk
menimpakan dosanya kepada orang lain. Kenapa kedua ayat ini disandingkan?
Mungkin, karena, ketika manusia mengalami sesuatu yang tak disukainya,
buru-buru dia mencari pembenaran, bahwa ini bukan salahnya, dan mencari orang
lain untuk bertanggung jawab.
Kenapa al-qur’an melarang menyalahkan
orang lain, tapi menyuruh mengembalikan apa yang dialaminya kepada dirinya
sendiri? Kalau kita renungkan—tentunya pandangan subyektif penulis—menyalahkan
orang lain akan memperburuk keadaan diri sendiri, karena disamping tidak
membawa perubahan apapun, itu akan lebih memperburuk keadaan diri sendiri,
karena kebencian dan dendam.
Jalan keluarnya hanya satu, intropeksi
diri dan kejar teman-temanmu. Bukankah al-qur’an juga menganjurkan untuk
berlomba-lomba dalam kebaikan? Jangan sampai keterpurukanmu menjadi beban
teman-temanmu untuk melangkah kedepan. Jangan pula berpikir, kamu akan menahan
penderitaan dan tak mengatakan kepedihanmu dengan teman-temanmu, karena takut
menjadi beban mereka, tapi rubahlah hidupmu, dan jangan menyerah. Kemauan untuk
menjadi lebih baik itu melebihi dari sekedar mengorbankan diri dalam
keterpurukan.
Mencari Kebahagiaan
Di ujung sana,
banyak kebahagiaan yang menunggu. Hanya manusia yang mengalami penderitaan dan
keterpurukan, kadang berpikir sudah tak ada kebahagiaan lagi baginya di dunia
ini. Bagaimana cara keluar dari jurang ini?
Kata Mahatma Gandhi, kalau
ingin merubah prilaku, maka ubah dulu cara berpikir. Pikiran atau persepsi
tentang kebahagiaan harus dirubah terlebih dahulu, membuka diri, dan setelah
itu lakukan hal-hal yang bermanfaat.
Bagaimana cara kita
merubah pikiran kita? Di sinilah kemandirian atau kedewasaan manusia diuji.
Disaat seperti ini pula, dia harus mengandalkan dirinya, bukan orang lain. Menulusuri
dirinya.
Suatu ketika, Rumi pernah
berkata, jika tak punya kaki untuk berkelana, berkelanalah dalam diri. Mungkin
diantara kita sudah banyak yang melakukan pengelanaan dari satu tempat ke
tempat lain, namun, adakah yang sudah berkelana ke dalam dirinya? Jangan-
jangan kunci kita hilang di dalam rumah, dan sudah sekian lama kita mencarinya
diluar rumah. Tentu saja tidak akan ketemu, bukan? [Za]
KOMENTAR