Ilustrasi: Tribunnews.com |
Bagai telur di ujung tanduk, gambaran negeri saat ini-cukup memprihatinkan. Indonesia sudah di ambang kehancuran, kebrobrokan moral penerus bangsa hingga banyaknya bencana melanda. Berikut bukti kegagalan pemerintah yang anti-islam. Tak ayal di berbagai media khususnya media sosial (medsos) begitulah kiranya caption-caption postingan memenuhi wall akhir-akhir ini.
Di sinilah peran medsos dipertanyakan, seharusnya membawa ke arah positif dan bermanfaat. Hujatan masih belum usai, penganut paham Islam kolot juga menampilkan ayat-ayat suci dengan dalil sebagai penguatnya. Bahwa kerusakan di muka bumi ini tak lain disebabkan oleh tangan-tangan jail manusia (red: kegagalan pemerintah). Sungguh ironi, melihat fenomena pemikiran kolot oleh penganut agama terbesar di Indonesia, Islam.
Fenomena di atas menggambarkan betapa besarnya kegagalan manusia dalam memahami sedemikian indahnya pesan Tuhan. Ada banyak sekali di sana, salah satunya manusia yang melihat bencana dari perspektif angker. Bahwa Tuhan murka lantaran masifnya kegiatan maksiat di bumi, lantas bencana direncanakan untuk segera direalisasikan. Akhirnya, terjadilah berbagai bencana alam dari gempa bumi, tsunami hingga banjir di berbagai daerah.
Sempitnya cara berpikir inilah membuat mereka menyimpulkan banyak simpulan yang egois. Mudah sekali menetapkan bahwa tragedi tersebut sebagai penguat hukum sebab-akibat sebagaimana yang telah lama kita ketahui. Hal tersebut menjadi bukti bahwa luasnya paradigma berpikir mempengaruhi cara pandang manusia terhadap suatu fenomena. Puncak dari segala propaganda Islam kini tidak jauh dari bayang-bayang kejayaan masa lalu. Di mana mengganti ideologi Indonesia sekarang dan mengusung ideologi islamisme ala mereka sebagai solusi absolut permasalah bangsa Indonesia.
Adanya mereka ini, semakin menambah daftar masyarakat Islam Indonesia sebagai si pikun sejarah. Bahwa orang-orang seperti mereka tidak pernah sekali pun berhasil mengganti ideologi Pancasila sebagai pedoman berbangsa. Justru, ideologi yang mereka usung selalu dengan mudah dipatahkan lalu hilang tertelan bumi, selesai.
Islam Sontoloyo
Fenomena keagamaan seperti ini bukanlah suatu hal baru dalam sejarah pergolakan pemikiran di Indonesia, bahkan sebelum negeri ini merdeka pada 17 Agustus 1945. Mungkin beginilah gambarannya, yang Soekarno sebut sebagai "Islam Sontoloyo". Awal mula muncul istilah tersebut ialah hasil dari perenungan proklamator kelahiran 6 Juni 1901 itu diasingkan menuju Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur pada tanggal 14 Februari 1934. Sebelumnya, Soekarno telah belajar banyak tentang Islam dari Tjokroaminoto, Kartosoewirjo, Muso, Agus Salim dan tokoh Islam saat itu. Hanya saja, fakta pemahaman Islam yang dulu ia pahami nampaknya berbeda dengan pemahaman yang berkembang di tempat pengasingannya.
Semasa ia di Ende, Soekarno seringkali dihadapkan pada fenomena keagamaan kolot, tak berkembang sama sekali. Termasuk dalam memahami ayat-ayat al-Qur'an, mereka tak dapat menempatkan pemahaman ayat pada konteks yang terjadi dan menanggalkan perkembangan pemahaman ayat. Ditambah lagi, banyak sekali terjadi penyelewengan yang dilakukan tokoh-tokoh agama.
Para tokoh agama mengawini muridnya dengan alasan tidak mau jatuh dalam maksiat. Karena, ketika proses transformasi ilmu, diharuskan adanya kontak indra penglihatan antara guru dan murid. Sedangkan dalam agama dijelaskan, haram hukumnya saling melihat antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya. Akhirnya, muncul solusi yakni menikahi semua muridnya agar terhindar dari zina mata. Di sini jelas sekali betapa Islam Sontoloyo sudah mengakar. Yeah, I got the point.
"Janganlah kita kira diri kita sudah mukmin, tetapi hendaklah kita insyaf. Bahwa banyak di kalangan kita yang Islamnya masih Islam Sontoloyo!"
Hakikatnya, Islam Sontoloyo oleh Soekarno ini nyatanya memang tak pernah mati. Bahwa setiap zaman, fenomena seperti ini selalu saja berulang dengan karakter dan tokoh yang berbeda. Suatu kelompok dengan mudahnya menghujat kelompok lain dengan label "kafir". Tak hanya itu, paradigma berpikir yang tidak berkembang selalu saja mengganggu cita-cita founding, terciptanya kesatuan dan kerukunan antar umat beragama. Dan parahnya lagi, kaum sontoloyo ini suka memanfaatkan agama Islam untuk melancarkan kepentingan pribadi dan kelompoknya. Nampaknya, fenomena seperti ini tidak asing bagi penulis melihat ustadz atau ulama era milenial kini gencar menampilkan ayat untuk kepentingannya. Sudah semestinya para Islam Sontoloyo diberi pelajaran berharga bahwa memahami al-Qur'an sebanding lurus dengan memahami budaya di berbgai negara Islam di dunia. Bukan perkara mudah menyelesaikan perkara ini, apalagi ulama-ulama sekarang sudah bercap 'sontoloyo'.
Lalu, seberapa sontoloyo ulama sekarang? [Goleng]
KOMENTAR