Tak ada jalan yang tepat untuk menempuh sebuah kesuksesan bagi sebuah bangsa,
selain melalui pendidikan? Jika ada jalan lain yang lebih tepat, maka penulis
berani bertaruh “memotong kuping” orang-orang senayan. Bukannya penulis tidak
berani bertaruh, melainkan akan sia-sia mempertaruhkan sesuatu yang sudah jelas
jawabannya. Suatu kejahatan—kata Ghandi—tidak timbul dengan sendirinya,
melainkan karena ada dukungan, meskipun hanya dari satu orang.
Kejahatan, ketidakadilan, dan kemanusiaan, adalah kosa kata yang berjejal
dalam banyak spanduk aksi perubahan sosial. Mereka bermimpi membuat dunia menjadi
seperti apa yang mereka tuntutkan.Melalui pendidikan setiap orang akan mampu
mencapai potensi tertinggi yang mungkin bisa ia capai. Dengan potensi itulah,
harapannya, orang akan sadar untuk mencabut dukungannya terhadap sebuah
kejahatan.
Dus, jika penulis
adalah orang jahat dan ingin mengabadikan kejahatannya, maka ia harus membuat bodoh
setiap orang, mudah dan sederhana kan? Pendidikan selalu menyimpan patologinya
sendiri. Selain sebagai kata ajaib untuk merapal mantra kemajuan suatu bangsa,
pendidikan nyatanya malah menjadi produsen manusia pemicu kejahatan dengan
memberi dukungan terhadap beragam praktiknya. Buktinya selain mencetak pahlawan
bangsa, akademisi, insinyur, pengajar, teknokrat, hingga desainer, pendidikan
juga mencetak koruptor, pengemplang pajak (sebenarnya sama saja dengan
koruptor), politikus busuk, pengusaha kartel, maupun perusak lingkungan.
Dosa Pemerintah
Ketika biaya pendidikan tinggi, generasi muda akan menjadi bodoh, nasib
suatu bangsa berada di ujung tanduk. Inilah dosa besar pemerintah. Tindakan ini
semacam konspirasi zionis atau mitos iluminati yang rumit, harus membaca buku sejarah
tebal untuk mengetahui siapa dalangnya. Mengkambinghitamkan sesuatu adalah
watak latah kita saat gagal memecahkan masalah yang kompleks (butuh makroskop
kalau kata Daoed Joesoef).
Biar sederhana kita salahkan saja pemerintah sebagai penyelenggara negara,
yang membuat biaya tinggi pendidikan di negeri ini tinggi. Buktinya mereka alpa
konstitusi sebagai pihak yang menjadi penerjemah UUD 1945. Semangat pendidikan
sebagai pengetahuan yang bertugas mencerahkan, sekarang telah tereduksi menjadi
sekadar “manajemen, perencanaan, dan akreditasi”. Kata Ivan Ilich, kalau sudah begitu,
siapa yang harus disalahkan saat pelajar menyamakan proses belajar dengan
ijazah?
Keegelisahan penulis terhadap biaya pendidikan tinggi datang ketika gelombang UKT menggemakan suara
protes. Sekali lagi, esensi pendidikan bukanlah untuk memprioritaskan
manajemen, perencanaan, dan akreditasi dengan mengesampingkan proses
pembelajaran. Mahalnya biaya pendidikan di UIN Walisongo tidak bisa
dibandingkan secara sederhana dengan biaya di kampus lain (karena hal
itu bukanlah hal yang compatible).
Lebih dari itu, pemerintah seharusnya menyediakan pendidikan tanpa membuat
rakyatnya menggadaikan beras. Sebab, Ukuran niat suatu bangsa yang ingin maju, berbanding
lurus dengan usaha untuk membuat biaya pendidikan semurah mungkin. Mahalnya
biaya pendidikan bagi penulis sama artinya dengan pemerintah yang tidak percaya
pada kalimat awal dalam tulisan ini. Jika suatu bangsa ingin maju,
pendidikanlah yang menjadi jalan satu-satunya.
Iluminati dan Memajukan Kebodohan
Menulis tentang teknis perdebatan mahalnya biaya pendidikan sebenarnya
membuat penulis merasa malu. Sejatinya permasalahan ini tidak membicarakan
pendidikan, melainkan memperdebatkan uang. Tetapi, sekali lagi (dan mengambil
pembahasan yang paling sederhana), secara konseptual, jika nada nyinyir protes
terhadap tingginya biaya pendidikan tidak lagi digubris penyelenggara negara,
maka penulis benar-benar curiga jika kabinet pemerintahan sudah dimasuki
“iluminati” yang ingin membuat bodoh generasi muda Bangsa Indonesia!
Penulis curiga, jangan-jangan Pak Jokowi menjadi salah satu dari
anggotanya. Sebagai Presiden, ia malah membiarkan semua ini terjadi. Pak Jokowi
sama sekali tak menegur Menteri Pendidikan yang baru ia “ajukan” (mungkin lebih
tepatnya diajukan oleh Jusuf Kala) untuk ngotot ingin masuk “Insert!” demi
bisnis katering di program Full Day School.
Jika masyarakat menengah ke bawah gagal menikmati proses pendidikan tinggi karena
biaya, bukan karena kemauaan atau kemampuan, bukankah sudah seharusnya ada
beberapa kementerian yang harus dihapus (sudah tidak mempan jika hanya sekadar
digonta-ganti).
Atau memang ada suatu kelas sosial yang menginginkan kemapanan status quo
yang dimilikinya. Maka mereka tidak membuka peluang masyarakat menengah ke bawah
untuk duduk di jenjang pendidikan tinggi. Tindakan tersebut akan membodohkan banyak
orang dan melanggengkan kejahatan.
Sebab orang-orang tidak akan tahu—dalam tetralogi Pulau Buru Pramoedya
Ananta Toer—kalau kekayaan dan kebahagian dari desa-desa di ekspor ke luar
negeri. Kemudian mereka mengimpor barang yang sudah diolah untuk menghilangkan
kesedihan karena dirampas untuk kemudian merasakan kesedihan yang lebih dalam
lagi.
Selama masih banyak masyarakat yang bodoh, kejahatan dalam bidang politik,
hukum, lingkungan, HAM, demokerasi, komunikasi, sosial, keagamaan, hingga kebudayaan
akan semakin mendapat banyak dukungan.
Sudah saatnya ada gerakan yang menyoroti mahalnya biaya pendidikan di
Indonesia. Harus ada aksi sosial dengan sepanduk berjejal tulisan ketidakadilan
dan kemanusiaan diturunkan dijalan-jalan. Harus ada yang melawan konspirasi
“iluminati” ini.
Dahulu, ketika keadaan sudah seperti ini mahasiswa yang memakai jas kebanggaannya
akan mencari dan memberi solusi. Setidaknya, kalau belum punya solusi, mereka
memprotes dan mengkritisi. Dahulu mereka dinamakan “aktivis kampus”. Yah, andai
aku aktivis kampus, kupinjam michrophone Via Valent di Jateng Fair untuk
bertanya pada rektorku.
(Ahmad Muqsith: Kru IDEA Angkatan 2011, Presiden BEM
Fakultas Ushuluddin 2014, dan berpartisipasi dalam aksi penolakan UKT)
KOMENTAR