Gambar: www.presentation-guru.com |
Duh, bala kanca, pria wanita
Aja mung ngaji syariat belaka
Gur pinter dongeng, nulis lan maca
Tembe mburine bakal sengsara
Penggalan lirik Syiir Tanpa Wathon karya almarhum Gus Dur tersebut sangat tepat untuk menggambarkan realitas umat Islam saat ini. Sebab banyak dijumpai tokoh agama yang rajin mengkaji syariat Islam, namun tidak diimbangi dengan sikap tawadhu'. Mereka hanya pandai mendongeng, merangkai kata, dan menyampaikannya kepada masyarakat. Lebih mengedepankan simbol daripada substansi. Tokoh agama semacam inilah yang akan membawa kesengsaraan.
Seperti yang menimpa Evie Effendi, seorang penceramah dari Jawa Barat Agustus 2018 lalu. Ceramahnya menuai banyak kecaman masyarakat. Ia menyatakan semua orang di muka bumi ini pernah tersesat, termasuk Nabi Muhammad. Evie Effendi juga menyebutkan orang yang memperingati maulid Nabi sama saja memperingati kesesatannya.
Setelah ditelusuri, rupanya Evie Effendi tidak memiliki riwayat pendidikan keagamaan yang jelas. Hanya bermodalkan materi keislaman, dipadukan dengan penampilan islami, serta kemampuan retorika, Evie mentasbihkan diri sebagai seorang penceramah.
Dalam konteks ini, narasi dakwah yang diunggulkan ialah penekanan pada aspek retorika. Hanya mengedepankan simbol tanpa mementingkan substansi. Misalnya pembahasan tentang nikah dan persoalan-persoalan normatif lainnya. Lebih banyak mengkaji persoalan fikih. Padahal Islam tidak hanya berbicara soal hukum dan persoalan normatif lainnya, melainkan juga menyinggung persoalan sosial, ekonomi, hingga kebudayaan. Islam mengusung konsep sebagai agama rahmatan lil alamin.
Pola penyampaian dakwah berbasis retorika seperti itu, membuat nilai-nilai keteladanan menjadi semakin luntur. Pengajaran hanya satu arah, para penceramah tidak memberikan contoh langsung kepada jamaahnya. Tidak seperti yang dilakukan Nabi Muhammad. Ia memberikan contoh langsung, bukan hanya berhenti pada ucapan semata. Sehingga Nabi Muhammad menjadi suri tauladan bagi umat manusia.
Hal ini seperti kritik yang disampaikan Boerdue tentang moral. Bahwa yang terpenting bukanlah apa yang ternyatakan (eksplisit) dalam ajaran maupun aturan moral, melainkan apa yang tak ternyatakan (implisit) dan hanya dapat dilihat melalui perilaku sehari-hari. Singkat kata, baginya, dalam konteks pendidikan moral, yang terpenting adalah teladan, bukan perintah moral yang keluar dari mulut.
Kembali pada Prinsip Awal Dakwah
Misi awal dakwah Islam ialah mengajak orang lain berbuat baik, bukan memaksa orang lain untuk sepaham dengannya. Seperti yang diajarkan Nabi Muhammad, dakwah akan lebih bermakna baik, apabila mengandung syiar agama yang sebenarnya. Dakwah sendiri merupakan tugas agama, bukan tuntutan profesi ataupun materi. Sehingga dalam situasi apapun pendakwah bisa menjadi patokan dalam penyelesaian masalah umat.
Dakwah selain sebagai bagian untuk mengajak pada kebaikan, juga untuk menghibur jamaah agar tidak terkesan bosan dan kaku. Hal lain, juga sebagai ajang memberi pemahaman pada orang awam tentang materi dakwah yang disampaikan. Namun, kata menghibur tidak bisa disamakan dengan memodifikasi agama dengan unsur transaksional.
Sunan Kalijaga misalnnya, sebagai sosok wali yang telah berhasil menyampaikan dakwah dengan cara yang unik. Memadukan budaya untuk metode dakwah yang aktif dengan corak budaya yang berkembang saat itu. Metode wayang kulit yang digunakan juga memiliki unsur menghibur dan memperkenalkan agama bagian dalam menapaki kehidupan.
Kejadian seperti inilah yang harusnya menjadi rujukan dalam memaknai dakwah sebagai nilai ibadah. Terdapat nilai perjuangan, keikhlasan serta beramal dengan konsisten. Permasalahan yang ada saat ini adalah krisisnya nilai keikhlasan dalam beramal dan konsisten. Masalah lainnya yang harus diperbaiki adalah menemukan makna dakwah yang sebenarnya.
Prinsip awal dakwah ini berhadapan dengan budaya masyarakat urban yang ingin semuanya serba instan dan tanpa pendalaman proses, hanya melihat semuanya dari kemasan yang terbungkus apik. Katanya semuanya serba instas, maunya instan, serba cepat seperti kilat. Belajar kilat, makan kilat, kalau bisa uangpun dapat dengan kilat. Mi instan saja yang katanya instan, cepat memasaknya, ternyata juga butuh proses menunggu selama 3 menit, apalagi untuk berdakwah.
Keberadaan media sosial yang mudah diakses membuat masyarakat menyukai konten dakwah tersebut dengan mudah. Penyampaian dakwah yang terkesan tidak kaku dan membosankan membuat konten tersebut sering dikunjungi dan menjadi trending topic. Hal inilah yang menyebabkan semakin viralnya ustaz online tersebut dikalangan penikmat media sosial. [Firda]
KOMENTAR