Gerakan jingle PBAK dengan menggunakan pom-pom |
"Tujuan saya kuliah di antaranya ialah agar menjadi orang yang cerdas dan lebih dewasa dalam menghadapi realitas kehidupan. Tapi ketika pertama kali masuk kampus ini, saya malah diajari untuk bersikap kekanakan. Saya diwajibkan membawa pom-pom. Saya merasa menjadi seperti anak SMA lagi. Sangat kekanakan. Sebenarnya saya ogah bawa pom-pom kayak gini, cuman mau gimana lagi, daripada dapat hukuman".
Itu sedikit curhat dari peserta PBAK UIN Walisongo 2018 yang tidak bisa disebutkan namanya. Kalau kamu mahasiswa baru (maba) UIN Walisongo 2018, apakah kamu juga merasakan dan mengeluhkan hal yang sama? Apakah kamu tidak pernah sekalipun merasa kepo untuk sekadar mempertanyakan, "apa faedahnya membawa pom-pom dalam acara pembukaan PBAK sekelas universitas Islam terbesar di Jawa Tengah ini?" Kalau memang alasan kemeriahan dan kekinian yang dijadikan alibi, tidak adakah cara lain yang lebih cerdas dan elegan?
Resitasi pom-pom secara nyata telah mencederai tema dari PBAK UIN Walisongo 2018 itu sendiri. "Spirit kesatuan ilmu pengetahuan, membentuk karakter bangsa yang beradab", begitu tema besar PBAK UIN Walisongo tahun ini. Pertanyaannya, karakter bangsa yang beradab macam apa yang hendak dibentuk lewat adanya resitasi pom-pom? Atau jangan-jangan pihak yang menginisiasi dan menyetujui resitasi pom-pom ini memiliki definisi dan indikator tersendiri atas bentuk karakter bangsa yang beradab?
Kewajiban resitasi pom-pom juga tidak sesuai dengan tagline PBAK UIN Walisongo tahun ini. "Cerdas, berkarya", begitu taglinenya. Mari kita bedah aspek "cerdas" dan "berkarya" dari resitasi pom-pom. Sayangnya, hingga detik ini saya belum menemukan aspek yang mencerdaskan dari adanya resitasi pom-pom. Apakah ketika 4.105 peserta PBAK 2018 secara bersamaan menggerakkan pom-pom mengikuti irama jingle PBAK, telah merepresentasikan bentuk kecerdasan? Tolong bantu saya menemukan aspek kecerdasan dari adanya resitasi pom-pom.
Tapi jangan berburuk sangka terlebih dahulu. Mungkin saja masih ada aspek "berkarya" dari resitasi pom-pom ini. Peserta PBAK UIN Walisongo 2018 bisa menguji kreativitasnya dengan membuat pom-pom sekreatif mungkin. Sayangnya ada pihak tertentu yang mencoba mengkomersialisasi aspek "berkarya" ini. Pom-pom dijual secara bebas maupun terstruktur dengan harga bervariasi.
Dalam bahasa yang lebih halus, mereka yang menjual pom-pom berdalih membantu mahasiswa untuk memenuhi resitasi. Peserta PBAK yang ogah bikin pom-pom lebih memilih cara yang lebih praktis dengan membelinya. Meskipun masih ada juga peserta PBAK UIN Walisongo 2018 yang mencoba berkarya dengan membuat pom-pomnya sendiri. Jika seperti ini, sudahkan resitasi pom-pom menjiwai aspek "berkarya" dalam tagline PBAK UIN Walisongo 2018?
Sampai sejauh ini saya masih belum menemukan sinergi antara resitasi pom-pom dengan tema besar dan tagline PBAK UIN Walisongo 2018.
Pom-pom Sekali Pakai: Unfaedah?
Dibandingkan resitasi dan atribut PBAK UIN Walisongo 2018 lainnya, pom-pomlah yang paling tidak berfaedah. Usai pelaksanaan PBAK, pin UIN Walisongo masih bisa digunakan sebagai aksesoris dan identitas sebagai mahasiswa universitas Islam terbesar di Jawa Tengah ini. Co card masih bisa dimanfaatkan dalam acara organisasi kemahasiswaan lainnya. Kertas bekas formasi MOB juga masih bisa didaur ulang menjadi lembaran kertas baru. Sementara pom-pom, apa faedahnya setelah pelaksanaan PBAK UIN Walisongo 2018 ini berakhir?
Apakah peserta akan membawanya pulang, kemudian dipajang di dinding rumah sebagai tanda bahwa ia telah resmi mengikuti PBAK? Atau pom-pom itu hanya akan berakhir di pojok kamar kos bahkan di tempat sampah sebagai barang sekali pakai. Sangat unfaedah. Apakah pihak yang menginisiasi dan menyetujui resitasi pom-pom tidak berpikir hingga sejauh ini?
Pertanyaan untuk peserta PBAK UIN Walisongo, jauh dalam hati nuranimu, apakah kamu merasa konyol atau justru merasa bangga ketika memainkan pom-pom? Cobalah lihat potret dirimu saat memainkan pom-pom di media sosial. Lihat seberapa banyak like dan dislike, serta ragam komentar yang muncul di sana. [Nashokha]
KOMENTAR