Berdasarkan data yang dirilis Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kementerian Dalam Negeri (Mendagri) tahun 2015, sepanjang tahun 2013 hingga April 2015 terjadi 201 peristiwa konflik di Indonesia. Klasifikasi isu tersebut meliputi kasus bentrok antarwarga, kesenjangan sosial, Organisasi Massa (Ormas) hingga isu Suku, Ras, Agama dan Antargolongan (SARA). Dari data itu, tercatat terjadi konflik isu SARA dengan 11 kasus. Hal tersebut menunjukkan intensitas diskriminasi dan intoleransi antargolongan di Indonesia masih rentan dan perlu diperhatikan.
November 2015 lalu, Setara Institute mendaulat Bogor sebagai kota paling intoleran di Indonesia. Penyematan gelar tersebut bukanlah tanpa alasan. Beberapa indikasi intoleran dan diskriminasi nampak dari kebijakan Walikota dengan julukan kota hujan tersebut. Bahwa, Walikota Bogor melarang beribadah di Gereja Yasmin dan melarang melakukan ritual asyuro bagi warganya yang beraliran Syiah. Perbedaan identitas menjadi motif dan indikator utama dalam pembuatan suatu aturan. Sebenarya apa itu identitas, sehingga memunculkan banyak problem jika hal itu disinggung? Mengapa identitas sangat mempengaruhi keadaan dan memicu konflik dalam masyarakat?
Diryo Suparto dalam penelitiaannya tentang "Konflik Identitas Sosial Masyarakat Temanggung" mengungkapkan konflik identitas sosial yang berbasis pada agama, sesungguhnya hanyalah manipulasi terhadap realitas konflik. Identitas sosial keagamaan hanyalah faktor pemicu terjadinya konflik, karena sebelum konflik terjadi, tentu ada pemicunya, prakondisi. Keadaan yang tidak teratur memicu munculnya sebuah problematika yang mengatasnamakan sesuatu. Pelabelan agama menjadi sandaran yang memercikkan api sikap intoleran pada golongan lain.
Contohnya kasus Ahok ketika membuat sebuah pernyataan yang dianggap kontroversial dalam memahami penafsiran surat al Maidah ayat 51 tahun 2016 lalu. Lawan politik Ahok yang hendak maju dalam Pemilihan Kepala Daerah Jakarta gencar mempropagandakan kesalahan Ahok. Mereka menjadikan keadaan tersebut sebagai senjata untuk menjatuhkan Ahok atas dasar tuntutan "Penistaan Agama". Segala hal yang berhubungan dengan Ahok (non-muslim, cina) dianggap buruk, menyalahi aturan dan menyimpang. Anehnya lagi, masjid-masjid menjadi ajang orasi menyebarkan doktrin mereka. Di era mudahnya perputaran informasi ini, identitas tidak lagi menggambarkan wujud seseorang, namun berubah menjadi alat untuk menjatuhkan golongan lain (lawan politik).
Diskriminasi dalam Media Sosial
Data Statista sampai September 2017 menunjukkan Facebook menjadi jejaring media sosial yang paling memikat penghuni dunia dalam berkomunikasi. Dengan jumlah 2,061 milyar pengguna, Facebook mengalahkan Youtube di posisi kedua dengan jumlah 1,5 milyar pengguna dan Whatsapp 1,3 milyar pengguna. Sementara itu, twitter yang sering kali disandingkan dengan facebook hanya menempati urutan 11 dengan 328 juta pengguna. Melihat data di atas, media sosial seolah-olah menjelma menjadi dunia baru di era milenia ini. Kini, mereka lebih asyik dengan dunia maya dibanding dunia nyata.
Indonesia menempati peringkat keempat negara yang paling banyak menggunakan media sosial facebook, dengan jumlah 126 juta, terhitung sampai Juli 2107. Dengan jumlah sebanyak itu, warga Indonesia menjadikan facebook sebagai dunia baru bagi mereka. Interaksi sosial, perdagangan, hingga pendistribusi berita beralih ke facebook. Sayangnya hal tersebut kurang diimbangi dengan penggunaan secara positif. Sebaliknya, facebook diubah menjadi arena perang baru bagi beberapa golongan. Penyebaran doktrin, ujaran-ujaran kebencian (hatespeech), isu-isu SARA, dan hoax menjamur di media sosial.
Penyebaran doktrin-doktrin untuk mempengaruhi orang lain semakin mudah melalui media sosial, tak terkecuali facebook. Bagi masyarakat awam yang tak paham derasnya informasi, akan terhanyut mengikuti aliran itu. Mayoritas pengguna media sosial cenderung membaca informasi secara tekstual tanpa melakukan klarifikasi. Parahnya, ketika suatu informasi itu berisi ujaran kebencian kepada seseorang, tentunya hal itu dapat menyudutkan golongan tertentu. Sikap seperti ini telah menjadi wajah baru dari bentuk diskriminasi, diskriminasi era milenial.
Kembali pada kasus Ahok yang menjadi trending topic isu SARA tahun 2016 lalu, media sosial menjadi alat penyebaran doktrin dalam mendiskriminasi Ahok. Banyak akun dan fanspage anonim dibuat hanya untuk mengumbar keburukan-keburukan Ahok. Diskriminasi era milenial ini terbukti ampuh dalam menggagalkan Basuki Tjahya Purnama atau Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta dan masuk jeruji besi sebagai tersangaka penistaan agama.
Revitalisasi Nilai-nilai Pancasila
Di era keterbukaan informasi ini, nilai-nilai kebhinekaan mulai luntur dan memudar. Baik di dunia maya maupun nyata. Maka, dipandang perlu adanya revitalisasi nilai-nilai Pancasila pada masyarakat, terutama kaum muda -penerus bangsa- yang banyak berinteraksi dalam media sosial. Jika kaum mudanya abai dengan berbagai bentuk diskriminasi dan intoleransi, atau lebih parahnya asal ikut-ikutan mendiskriminasi orang lain padahal tidak mengerti akar permasalahannya, mau dibawa ke mana bangsa ini?
Jika media sosial dapat digunakan sebagai alat mendiskriminasi orang lain, seharusnya juga dapat digunakan sebaliknya, sebagai perlawanan. Netizen yang baik dapat mengimplementasikan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila melalui media sosial. Undangan mengajak menuju masyarakat berperadaban, menyerukan nilai persatuan dan kesejahteraan sosial perlu ditekankan untuk melawan bentuk-bentuk diskriminasi yang ada.
Seharusnya, masyarakat Indonesia yang terkenal dengan kemajemukannya, dapat memahami itu sebagai perangkat persatuan. Bukan malah sebaliknya, saling hujat satu sama lain. Ketika, masyarakat Indonesia paham dengan amanah Pancasila -persatuan- mereka tidak lagi mudah terjebak dengan pengaruh-pengaruh di media sosial yang memecah-belah bangsa.
Sebagai negara yang multikultural, seharusnya Indonesia dapat lebih berwarna dengan keberagamannya. Masyarakat yang plural harus mengembalikan dan mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Toleransi antargolongan perlu dijunjung tinggi agar tercipta kehidupan masyarakat yang berperadaban dan harmonis. [Zain]
KOMENTAR