Ilustrasi: Penggunaan media sosial untuk menyebarkan paham radikal, lebih praktis dan berdampak masif |
Ivan menjadi salah satu contoh bahwa dengan media sosial, pelaku teror dapat mempengaruhi sistem kerja otak manusia yang masih setengah-setengah dalam memahami agama Islam. Sebagaimana perkataan Abdurrahman Ayyub, mantan teroris sekaligus guru dari Amrozi cs yang mengatakan bahwa, mayoritas teroris tidak paham tentang hakikat Islam yang sebenarnya. Mereka hanya tahu, bahwa Islam itu seperti yang mereka dengar dan mereka lihat di media sosial. Argumen yang selalu beredar seringkali terkait dengan pemerintahan yang dzalim, tidak berdasarkan syariat Islam. Mungkin inilah alasan mengapa sekarang ini banyak website dengan latar belakang 'aswaja' yang `ramai menghiasi dunia internet.
Di balik maraknya aksi terorisme yang terjadi di berbagai negara, media sosial bisa dibilang menjadi tempat yang paling representatif dalam menyebarkan paham radikal. Aksi teror terhadap majalah satir Charlie Hebdo, Perancis, yang sudah diklaim oleh Al Qaeda (salah satu jaringan teroris di dunia) itu dapat kita ambil sebagai contohnya, betapa urgennya masalah ini. Dalam rangka melebarkan sayap, pada awalnya, penganut paham radikal ini menyebarkan ideologinya dengan pendekatan personal. Berbeda dengan era informasi seperti sekarang, teroris tidak mau tertinggal oleh zaman. Perkembangan teknologi dimanfaatkan untuk menyebarkan ideologinya.
Teroris atau radikalis era sekarang tidak perlu bertemu dengan calon "pengantinnya", proses baiat cukup dilakukan melalui chatting di Facebook, Twitter, Whatsapp, dan media lainnya tanpa perlu bertatap muka dengan kadernya. Tercatat, di tahun 2015 misalnya, Twitter memblokir 125.000 akun yang mendukung Islamic State of Iraq and Suriah (ISIS). Hal itu terjadi karena rata-rata 270 argumen yang meyatakan pro kepada ISIS bertebaran di Twitter dalam satu hari.
Kuasa Internet
Satu hal yang sudah kita tahu, bahwa dunia internet tidak pernah terbatas ruang dan waktu. Penyebaran tulisan maupun video tentang terorisme dan radikalisme sangat mudah ditemukan hanya melalui satu kali klik, semakin menguatkan fenomena pembelajaran aksi teror melalui internet. Namun, tidak berhenti sebatas perekrutan melalui media sosial, mereka pun tetap menyebarkan ideologinya dengan cara klasik, langsung mendatangi calon "pengantin".
Penyebaran paham radikal melalui internet bukanlah hal baru, hal itu sudah diterapkan oleh Jama'ah Islamiyah (JI) di era 1999 hingga 2003. Imam Samudera cs menyebarkan suatu propaganda yang mengatakan 'kalau tidak bisa melakukan teror dengan bom, jadilah hacker'.
Para teroris merancang aksinya dengan internet, sering menggunakan warnet sebagai markas kedua mereka. Tidak perlu mendatangi orang satu per satu, cukup dengan membuat video pelatihan militer, cara merangkai bom, kemudian disebarkan lewat Youtube, dengan demikian mereka dapat calon jihadis baru. Berdasarkan penelitian Universitas Miami, Amerika Serikat mengungkapkan, ada 166 grup di media sosial yang digunakan untuk membangun jaringan terorisme.
Hasilnya 106.000 aktivis yang pro terhadap gerakan ISIS dan menggembar-gemborkan argumennya untuk mendukung gerakan ini. Obyek yang sering terpengaruh oleh ISIS ini adalah anak muda yang katanya masih dalam fase 'pencarian jati diri'. Kemudian ini dijadikan alat untuk menyodorkan pemahaman-pemahaman kelompok teroris tersebut. Buktinya, dilansir dari Merdeka.com, sepanjang 2015, ada 3.400 anak muda di negara-negara barat yang berhasil terpengaruh dan rela mati untuk memperjuangkan ideologinya. Tidak menutup kemungkinan, tragedi perekrutan masal itu akan terjadi di negara kita, Indonesia. Berjuang tidak selalu dengan pedang, bukan? (Islah)
KOMENTAR