Pada suatu masa masyarakat di salah satu desa di wilayah Jawa Tengah hidup makmur karena mempunyai sumber daya air yang melimpah. Mereka bisa menggunakannya untuk minum, kebutuhan rumah tangga, kebutuhan ternak, hingga pertanian. Namun hal itu tidak diimbangi dengan tingkat pendidikan masyarakat yang tinggi.
Hingga suatu saat datanglah perusahaan air mineral yang berkongkalikong dengan politikus. Kerja sama itu akhirnya membuat perusahaan tersebut mempunyai hak eksplorasi sumber air di desa. Tanpa mereka ketahui bahwa sebenarnya hal tersebut telah dijamin oleh Undang-Undang Rancangan Tata Ruang dan Wilayah.
Akibatnya, masyarakat yang semula bisa mendapatkan air secara gratis, sekarang harus membayar. Hingga suatu masa harga air mineral melambung tinggi dan masyarakat tak lagi mampu membeli. Dampaknya mereka mengalami dehiderasi panjang saat Ramadan.
Melihat kondisi tersebut, membuat para pemuda desa yang merantau merasa prihatin. Mereka memutuskan menggalang iuran untuk mengatasi permasalahan tersebut. Terbatasnya uang yang terkumpul membuat para pemuda hanya mampu membelikan satu kemasan gelas air mineral kepada setiap orang.
Kondisi tersebut berlangsung selama tujuh tahun dan masyarakat belum bisa terlepas dari masalah dehidrasi yang semakin menyiksa. Seiring waktu berjalan, bantuan dari para pemuda mulai menurun. Mereka hanya bisa memberi satu kemasan gelas air mineral untuk dua orang, karena harganya yang semakin mahal.
Seandainya para pemuda tadi lebih pintar dengan niat menyelesaikan masalah secara konseptual, dan masyarakat desa mau serta mampu bertahan sedikit lebih lama menghadapi penderitaanya, maka seharusnya uang iuran tadi idealnya digunakan untuk meningkatkan pendidikan tentang kesadaran politik dan hukum bagi masyarakat.
Pendidikan tersebut akan membuat masyarakat punya modal pengetahuan yang benar dan kuat tentang hak air yang telah diatur dalam UUD 1945. Sehingga akan menjadi sebuah gerakan sosial yang sistemis dan konseptual. Begitulah, sebuah gerakan menuju perubahan sosial yang seharusnya dikerjakan. Harus mencapai akar permasalahannya, mencapai titik hulu dan hilir dari semua permasalahan mengalir deras dan terus-menerus.
Begitulah analogi yang penulis paparkan untuk menggambarkan kerangka gerakan sosial yang dewasa ini terjadi, terutama dalam masalah polemik UKT. Semua organisasi kampus, baik lintas universitas maupun lintas fakultas, berlomba berunjuk gigi memperlihatkan siapa yang paling peduli, meski tak ada dewan juri.
Gerakan Masif dan Terpadu
Gerakan mahasiswa menjadi terpecah dan seolah (atau memang benar) tidak ada kordinasi visi gerakan antar kampus maupun fakultas. Akibatnya gerakan itu seperti riak ombak yang suaranya muncul tenggelam, kalah dengan bisingnya suara deru mesin kapan ilegal pencari ikan.
Penulis bermimpi melalui perkumpulan Badan Eksekutif Mahasiswa Nasional (BEMNAS), Cipayung, atau wadah lain, memiliki suatu strategi yang konseptual tentang bagaimana cara mengembalikan kehidupan kampus seasyik pra-UKT.
Beberapa langkah konseptual yang bisa ditempuh, pertama, menganalisis payung hukum yang melegalkan penerapan peraturan UKT. Kedua, membuat agenda legislasi tandingan dari peraturan UKT. Ketiga, melakukan pendataan secara faktual dengan pendekatan yang komprehensif, tentang apa saja kerugian yang didapat dari adanya sistem UKT. Terakhir, melakukan aksi persuasif secara masif untuk menggalang dukungan yang akan diajak untuk boikot.
Cara terakhir ini merupakan aksi nirkekerasan yang sudah mengakar dan begitu efisien untuk menaikkan posisi tawar masyarakat dalam melakukan negosiasi dengan pemerintah. Aksi ini seperti halnya pernah dilakukan oleh Chaves yang memboikot anggur produksi perusahan perkebunan anggur yang semena-mena terhadap para pekerjanya. Boikot kain buatan Inggris oleh Ghandi, boikot akses jalan utama di Brazil dalam aksi reformasi agraria dan berbagai macam aksi lainya yang menggunakan metode serupa.
Kini, jika tiga cara sebelum boikot menelurkan suatu peraturan rekomendasi pengganti sistem UKT, maka boikot ini bisa dipraktikkan dalam bentuk penolakan masuk kuliah. Pemogokan masuk kuliah oleh mahasiswa ini bertujuan untuk meningkatkan posisi tawar mahasiswa dalam melakukan proses negosiasi demi mewujudkan tuntutannya. Semakin banyak mahasiswa yang terlibat dan berlangsung dalam waktu yang lama, posisi mahasiswa pun akan semakin tinggi. Andai setiap kampus di setiap kota melakukan aksi ini, maka tidak mungkin pemerintah tidak akan turun untuk mengajak mahasiswa bernegosiasi.
Aksi pemogokan ini murni berbasis pada nirkekersan. Artinya setiap pelaku aksi tahu konsekuensinya, mampu menanggung segala beban aksi secara sukarela. Jika aksi ini terwujud, maka sama halnya dengan penarikan dukungan kita terhadap penerapan sistem UKT yang kita anggap buruk.
Berani boikot? Cukup dengan datang ke kampus, tapi tidak usah masuk ruang kuliah dan ajak sebanyak mungkin teman untuk meniru aksimu!
*Ahmad Muqsith
(Kru IDEA Angkatan 2011, pernah menjadi Presiden BEM Fakultas Ushuluddin 2014 dan berpartisipasi dalam aksi penolakan UKT)
KOMENTAR