Hari-hari semakin meletihkan. Kadang kita seperti dipaksa
membisu karena tidak ada lagi bunyi kata yang terucap dari bibir kita seperti
biasa. Semakin hari semakin membebani saja, isi kepala semakin penuh dan terasa
ingin muntah.
Tanpa kita sadari berdampak negatif pada banyak hal yang
kita anggap menyenangkan, namun kita sebenarnya tersenyum di balik tipuan dan
bumerang. Televisi terus menambah problematikanya, internet dan kondisi ekonomi
kini, pun sama.
Itulah mungkin yang menjadi faktor-faktor mengapa di hari
yang semakin dewasa ini, kita semakin sering lemah, menggerutu bahkan memilih
menyerah dari tantangan sang waktu yang sombong, dari teriknya matahari yang
tak lagi menumpahkan panasnya yang wajar di kepala.
Tentu tidak mudah menghadapi hidup. Memang tidak mudah,
tapi bukan berarti tidak bisa. Rumi dalam sajaknya mengungkapkan, “Janganlah
berpisah dari kerang, jika tetesan air hujan belum lagi menjadi mutiara”.
Sajak tersebut mengisahkan tentang sebuah tamparan dari
sahabat, di saat kamu melakukan kesalahan. Artinya, jika kita menganggap
tamparan tersebut sebelah mata maka yang ada hanyalah tumbuhnya permusuhan dan
dendam.
Namun, jika tamparan tersebut diartikan sebagai sebuah
proses dan motivasi, tamparan-tamparan tersebut atas kesalahan yang kita terus
perbuat. Dan tamparan yang terus-menerus tersebut akan menjadi evolusi dari
diri kita sendiri, dan akan pula mengubah sikap dan tindakan tersebut dari yang
salah menjadi lebih baik dan benar.
Cobalah menilik lagu Iwan Fals “Belum Ada Judul”, lagu
tentang perenungan atas perjalanan persahabatan. Iwan dalam lagunya
mengungkapkan bahwa tamparan sahabat masa lalu tersebutlah yang membangkitkan.
“Aku tahu kamu letih, tapi inilah jalanmu..”. Lagi, Rumi
dalam sajaknya seakan membawa kita untuk sadar bahwa kita hanya seonggok daging
ciptaanNya. Umur kita tak sepanjang malaikat Isrofil yang hidup hingga kiamat
tiba.
Di sini, sisi negatif memang wajar menyelimuti kehidupan
kita. Namun, hal tersebut bukanlah sebuah justifikasi bahwa kita, dengan badan
yang lebih sempurna dari ciptaanNya yang lain. Selayaknya memaknai cobaan
sebagai tamparan untuk bangun dari keterpurukan, berjalan dan berproses yang
optimal walau berat beban yang harus ditanggung. Hingga akan tiba saatnya,
hasil dari yang kita usahakan berbuah, selayaknya mutiara yang kita dambakan,
yang kita selalu impikan, dengan ridhoNya. [K]
KOMENTAR